Engkau yang bersenandung di kelok sebuah sungai, tempat terindah untuk tinggal matahari senja, adalah engkau yang selalu menenggelamkanku pada kenangan berlarut.
Hampir selalu kusebut namamu yang terdiri dari banyak konsonan, merenggut hidupku dari setiap ritual yang dicatat waktu.
Kubiarkan dirimu berdiri pada jarak terjauh dari jangkauan tanganku yang gemetar, agar mimpiku selalu berlayar menempuh cakrawala yang kian melebar.
Kubacakan setiap keinginan menjadi tanah tempatmu berpijak demi menampung abu tubuhmu andai seluruh ucapanmu gugur seru debu. Cintaku telah sampai pada batas sakit, sepanjang Klareyan ke entahmustianku, sepanjang bayang-bayang yang menari di latar dinding bangunan tua, dalam kaca-kaca air mata.
Dan sungai yang mengalir di belakang punggungmu seperti menunggu larung pertemuan kita, sewindu demi sewindu, tak tertakar waktu membiarkan senja mendirikan kota, bersusun-susun bagai irama kesetiaan yang ditatah menjadi sebuah simfoni, tanpa situs partitur pun sanggup mencacatnya.
Engkau yang melangkah pada luruh gerimis menjelang matahari tumpas, memandang langit tua, adalah engkau yang tak pernah ada. Dan tak punya nama.
puisi karya kurnia efendi
Kamis, 29 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar